Para Amatir Belajar Surfing di Kuta Lombok

Sebelum trip dimulai, saya udah  menekankan  ke travel mate tercinta, Sapi, kalo saya ingin belajar surfing di sepanjang pantai yang memang bisa buat surfing. Kuta Lombok merupakan pantai yang tepat untuk belajar surfing. Menurut saya pada awalnya.Tapi setelah kami berdua sampai di sana, sepertinya Kuta Lombok bukan tempat yang tepat untuk para amatir yang benar-benar baru ingin belajar surfing. Begini ceritanya…

Untuk perjalanan ke Kuta Lombok, saya excited sekali, karena akan belajar surfing di sana. Awalnya Sapi gak mau ikutan, Karena mahal. Ya, memang lumayan mahal. Harga untuk belajar surfing di Kuta Lombok, dibandrol Rp 300.000,-, sudah termasuk sewa papan surfing, di ajari pelatih dan dipinjami kaos.  Sebelum kami menuju Kuta, Sapi tiba-tiba ingin pergi ke pantai di daerah Sekotong, yang berbeda arah dengan Kuta. Ini akibat termakan omongan tante Eti ketika kami sedang sarapan di rumahnya. “Hari ini kalian mau ke Kuta ya? Kenapa gak ke daerah Sekotong sekalian, ada pantai yang baguuuusss banget, ombaknya tenang, airnya jernih” celetuk tante Eti sambil mengambil air minum. “Oh ya tante? Emang di deket Kuta?” Sapi langsung antusias sedangkan perasaan saya gak enak. Sapi termasuk orang yang gampang kemakan omongan dan dapat merubah plan seenak udel. “Ya gak deket-deket amat, tapi bisa sekalian, kan sayang, nanggung juga, kalian udah nyewa mobil ini” jawab tante Eti dengan santainya dan perasaan saya makin gak enak. Dan benar saja, selanjutnya Sapi ingin kami mampir ke daerah Sekotong untuk melihat pantai yang katanya indah itu. Yang bikin perasaan saya gak enak adalah waktu tempuh yang cukup jauh dari Cakranegara ke Sekotong. Lalu dari Sekotong ke Kuta. Belum lagi komentar orang-orang tentang daerah Kuta yang rawan maling karena tujuan kami pada saat itu adalah Kuta bukan pantai di daerah Sekotong. Tapi berhubung yang jadi sopir si Sapi, saya menurut saja. Ini kan berpetualang namanya, meskipun kami gak tau pantai yang dibicarakan oleh tante Eti letaknya di sebelah mananya Sekotong……
Jam 9 pagi waktu Lombok, kami mulai perjalanan kami dengan xenia sewaan. Sambil mendengarkan lagu dari stasiun radio setempat. Sampai akhirnya kami mendengarkan ipod masing-masing karena suara radio mulai kresek-kresek gak jelas. Menunjukkan kami sedang berada di daerah tak terjangkau sinyal. Jalur ke daerah Sekotong ternyata lebih memacu adrenalin kami, daripada jalur pantai Sengigi. Melalui tanjakkan terjal, turunan dan perempatan pasar yang nyaris membuat kami tersesat. Saya sempat bertanya kepada orang yang lewat, di mana letak Sekotong, padahal kami sudah berada di daerah tersebut. Sambil membuka kaca mobil : “Permisi pak, Sekotong di mana ya?” tanya saya. “Lah ini Sekotong dek” jawab si bapak. “Ooooooh, kalo mau ke pantai ke arah mana ya pak?” tanya saya masih gak mau keki, gara-gara pertanyaan sebelumnya. “Pantai? Waduh, saya juga gak tau, di sini pantainya banyak” jawab si bapak bingung. Haduh, bapaknya bingung apalagi saya. Akhirnya saya tanya lagi. “Kalo pantai pasir putih di mana pak?” “Kalo pantai pasir putih belok kanan aja, terus luruuuss terus.” jawab si bapak pede. Setelah mengucapkan terima kasih, kami langsung cabut. Pada saat itu waktu terasa amat sangat berharga. Sebelum jam 12 siang kami harus sudah sampai di pantai yang tante Eti sebutkan, karena kami masih harus ke Kuta yang jaraknya kurang lebih 2 jam dari Sekotong.

Rute menuju pantai yang dibilang si tante, tapi gak nemu-nemu

Setelah belok kanan dan lurus terus, kami tidak menemukan pantai yang kami cari. Justru kami melewati daerah perbukitan yang ditumbuhi bunga-bunga berwarna pink, pepohonan kelapa, dan pantai biasa yang tidak begitu menarik. Sapi sudah mulai mengeluh. “Hadooh di mana sih pantainyaaa, di manaaaa?? Gw udah kaya supir AKAP neh, setres gak nemuin pantainyaaaah.” ujar Sapi sambil menggas mobil. Saya diam saja. Saya sibuk memperhatikan pemandangan sekitar. Dan tiba-tiba teringat percakapan dengan salah seorang penumpang ferry ketika kami menyeberang dari Padang Bay Bali ke Lembar Lombok. “Adek, bukan dari Lombok ya sepertinya?” tanya bapak the stranger. Saya langsung menoleh dan memperhatikan raut wajahnya. Entah kenapa, dalam trip ini saya harus extra berhati-hati terutama dengan orang tak dikenal. Tapi sepertinya si bapak the stranger cukup baik dan menyenangkan untuk diajak berbicara. “Iya, pak, saya lagi jalan-jalan ke Lombok. Saya dari Jakarta” jawab saya cukup ramah. Tiba-tiba kami sudah mengobrol seru tentang Lombok. Si bapak the stranger bercerita sambil menunjuk ke pulau-pulau dan perbukitan yang dilewati kapal ferry. “Liat daerah situ dek, itu ada perbukitan yang mengandung emas.” kata bapak the stranger antusias. Ternyata perbukitan yang ditunjuk adalah bukit yang di daerah Sekotong ini.  Bapak the stranger bercerita lagi. “Lombok itu bagus sekali loh dek, apalagi kalo kamu pergi semakin ke timur, maka pantai-pantai lebih cantik lagi. Bali kalah deh. Kuta Bali kalah dengan Kuta Lombok. Kamu harus ke sana.” “Iya pak, sepertinya kami juga bakal ke sana kok” jawab saya sambil memberi kode ke Sapi agar menghampiri kami untuk join bareng. Bapak the stranger juga pernah bekerja di beberapa hotel berbintang yang berada di Lombok dan Bali. Dia bilang, usaha perhotelan dan pariwisata di Indonesia kebanyakan dipegang oleh investor asing. Pemerintah Indonesia kurang perhatian sama kekayaaan dan keindahan negaranya sendiri. Kalo pemerintah mau dan bersungguh-sungguh mengelola pulau Lombok misalnya, pasti bakal maju pariwisatanya. Belum lagi kekayaan alam yang dikandung pasti bisa untuk kesejahteraan penduduk. Tiba-tiba Sapi membangunkan saya dari lamunan. “Malaaaaaaaaaaaaa, gw nyerah, gw emosi, gak nyampe-nyampe dari tadiii. Udah kita mampir ke pantai yang itu aja” sambil menunjuk ke pantai yang di pinggir jalan. Wow, saya gak sadar ketika saya melamun ternyata kami melewati pantai yang lumayan indah, dan letaknya persis pinggir jalan. “Okeeeeeh, kita berhenti dipinggir jalan situ aja Pi, yang deket ibu-ibu lagi ngangkut kerang.” ujar saya sambil melongok dari kaca mobil.

Pinky hills surrounded by coconut trees

Pantai pinggir jalan di daerah Sekotong


Kami keluar dari mobil lalu berjalan menyusuri pasir. Pantai ini, entah pantai apa namanya. Lumayan indah. Hanya saja, banyak sampah laut yang berserakan di pinggir pantai. Sayang sekali, ujar saya dalam hati. Pantai ini dikelilingi perbukitan yang si bapak the stranger bilang ada emasnya! Langsung saya teriak ke Sapi. “Sapiiii, lo inget ucapan bapak the stranger yang ketemu di ferry gak? Yang dia bilang di perbukitan di daerah Sekotong ada emasnya? Dan orang-orang bisa nyari emas di sana? Lumayan Pi, sapa tau kita bisa cari, lumayan buat nambahin bujet trip.” “Eh lo pikirrr, nyari emasnya gimana? Tinggal ambil doang? Itu mesti digaliii, gak mungkin orang kaya kita bisa gali gitu aja.” kata Sapi galak. Oh iya, benar juga. Bodohnya saya, mentang-mentang udah dekat dengan ladang emas. Jadi serakah ingin mencari emas juga. Padahal untuk mendapatkannya gak gampang. Manusia… Selalu serakah… *berkaca pada diri sendiri*.
 Kami gak bisa lama-lama di pantai pinggir jalan ini. Harus segera ke Kuta. Rute yang kami lalui ternyata amat sangat “menarik dan menegangkan”. Ada beberapa option ketika kami mengambil rute ke arah Mataram. Kami melihat papan penunjuk jalan bertuliskan: “Mataram : kanan lewat jalur bawah. Kiri lewat jalur atas”. Saya galau. Melihat rute “gila” daerah Sekotong, lebih baik ambil jalur bawah. Tapi Sapi berpikir sebaliknya. “Lewaaat atasss ajaaaa!” teriak dia sambil injak kopling. Dasar sinting. Saya langsung ngakak. “Buakakakka, terserah lo Piiiii, lo yang nyetir. Asal lo gak ngeluh aja sepanjang perjalanan yak”. Rutenya sungguh dahsyat, tanjakkan terjal lalu langsung belokan tajam. Serasa berada di atas jet coaster. Terlebih Sapi yang nyetir :P.



Setelah naik turun tanjakkan terjal, balik arah ke Mataram, lalu melewati bandara internasional Lombok yang baru beroperasi pada tahun 2012 nanti. Kami sampai di Kuta. Yahuiiiii! Benar kata bapak the stranger. Kuta Lombok memang indah. Laut biru. Jernih. Dikelilingi bukit-bukit. Namun, ada yang ganjil dari pemandangan tersebut. Lautnya tenang. Gak ada ombak. Lalu di mana orang-orang berselancar? Kami menghampiri toko kecil yang menyewakan peralatan surfing. “Permisi mas, kami pengen belajar surfing pantainya di mana ya?” tanya saya pada mas berkulit gelap,berambut keriting yang dikuncir kuda dan mengenakan celana pendek. “Oh harus jalan lagi, 15 menit lah dari sini, setelah lewat Novotel” jawab si mas dengan logat, hhmm Lombok kah? Atau Inglom (Inggris Lombok)? Saya mendengar dari logatnya, si mas ini sepertinya sering berbicara bahasa Inggris dengan turis asing yang berkunjung ke Kuta. Jadi saya ambil kesimpulan, dia berbicara Inglom. Hehehehe. Pembicaraan berlanjut sampai akhirnya kami dapat menyewa papan dan di ajari surfing oleh anak buahnya dengan Rp. 300.000,- per/orang. Sudah termasuk sewa perahu. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa harus menyewa perahu? Memang pantainya untuk surfing ada di sebelah mana sih?
 Beberapa menit kemudian, dua anak buah mas Inglom tiba dengan menggunakan motor. Mobil kami terpaksa mengangkut satu papan surfing yang tidak muat di motor. Lalu mengikuti dari belakang, motor sang anak buah. 15 menit kemudian, kami tiba di pantai. Tapi ternyata itu bukan pantai untuk surfing, melainkan pantai yang penuh dengan perahu nelayan. Setelah ganti baju renang, kami segera ke pesisir pantai. Saya sempat berpikir, mereka akan mengajari teori berselancar terlebih dahulu sebelum praktek di laut. Tapi ternyata gak! Hati sempat ketar ketir. Sudah lama saya gak surfing. Itu juga saya surfing pertama kali di laut Belanda, Wijk aan Zee, yang ombaknya gak sebesar di Indonesia tapi dinginnya amit-amit. Udah gitu, ini surfing-nya mesti pake perahu dulu kalo mau ke pantainya. Saya pasrah. Berdoa dalam hati saja, semoga ombaknya gak besar. Kalo besar, yaaa pegangan papan. Huhu. Beberapa menit di atas perahu, saya melihat laut luas. Ini kok belum sampai-sampai? Ketika melihat peselancar sedang bermain ombak, apa yang saya takutkan terjadi. Yap, belajar surfing-nya di tengah laut! Bagus!

Sempat berfoto juga akhirnya, setelah belajar surfing alias main air

 Saya kira, pantai tempat surfing kami, memiliki pasir. Bukan bebatuan dan menjorok ke tengah laut seperti itu. Ah, ini sih bukan buat amatir tapi buat professional. Shit! Jalan satu-satunya saya harus surfing. Belajar surfing di tengah laut. Nampaknya ini bukan masalah buat Sapi. Aneh. Tapi ketika kami terapung-apung di atas air, Sapi teriak: “Maal ini gimanaaaaa, gw paddle terus tapi gak jalan-jalan ke tengah, yang ada gw terombang ambing beginiiih” “Menurut loooohh, apalagi gw. Udah kaya dugong beginiiii. Gw paddle juga gak ngaruh. Hadoohh.” gerutu saya. Saya sempet minta tolong pelatih untuk mendorong dan memegang papan sehingga saya dapat mencoba berdiri lalu meluncur. Namun hasilnya nihil. Saya tetap gak bisa berdiri. Yang ada justru saya tergulung ombak terus. Saya menyerah. Lebih baik saya main-main air saja, sambil terombang-ambing di tengah laut. Setelah lelah bermain air, saya menghampiri perahu ditemani si pelatih yang gak mengajari kami bagaimana cara surfing yang baik dan benar. Sambil berenang dia berkata dengan logat Lombok yang kental : “Eh mbak, liat perahu yang di sana gak? Yang sendirian itu?” Saya melihat ke arah yang disebutkan. “Iya terus kenapa emangnya?” tanya saya acuh tak acuh. “Itu, kafe di atas perahu. Mbak bisa mesen minuman di situ. Uenak loh mbak kopinya, birnya juga.” ujar dia sambil mengacungkan jempol. Wah menarik juga, ada kafe di tengah laut. Berhubung saya sudah lelah, bete, dan mengambil kesimpulan sendiri bahwa minuman di kafe tersebut pasti mahal. Saya langsung bilang: “Udah kita balik aja, capek surfing!” Padahal capek terombang ambing di atas laut doang. Sampai di perahu, saya gak sanggup naik ke atasnya. Harus ditarik oleh dua orang. Hahaha. Entah saking beratnya saya atau karena kecapean. Saya melihat Sapi masih seperti dugong terdampar. Segera saya panggil agar bisa segera pulang dari Kuta. Takut kemaleman dijalan..............






Komentar

  1. lo gak cerita bagian pulangnyaa? yg lo bilang papan ijonya ga ada tulisannya? hahahhahahhahahah

    BalasHapus
  2. bakakakkaka, bentarrr, masih bersambung tenang aja pi, nyicil w,haha

    BalasHapus
  3. wahhhh... kekny seru belajarnye deket pasir aja mbak... ada yg nangkep kl kita tergulung ombak hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Situbondo, Taman Nasional Baluran a.k.a Africa van Java