Berkunjung ke Taman Narmada, Pura Suranadi, dan Pura Lingsar (Lombok)

Akhirnya setelah perjalanan 3 hari 2 malam naik bus Safari Dharma, kami tiba di Mataram.  Perjalanan dengan menggunakan bus, ternyata menyenangkan juga. Bertemu dengan maba pecinta alam, yang akan diinisiasi di gunung Rinjani, bapak supir dan kenek yang  kocak, satu keluarga kecil dengan bayi yang nge-rock abis, mbak party animal, sampe mas-mas bau jempol kaki yang duduk di belakang kami persis. Setidaknya yang menjadi korban bau kaki bukan saya, tapi travel mate saya, Sapi. Peace :D.  Sebelum penumpang bus Safari Dharma bubar, kami sempat berfoto ria, untuk kenangan bahwa kami pernah menjadi satu keluarga dalam bus malam tersebut.

Para penumpang bus malam Safari Dharma :D

Lalu kami menginap di rumah om Nanu, salah satu anggota keluarga ipar dari ibu saya. Hari pertama, kami berencana untuk berkunjung ke pura  dan pantai Sengigi.  Beruntungnya kami, ternyata tante Eti, istrinya om Nanu, punya motor matic nganggur. Dan sang tante gak berkeberatan untuk minjemin motornya itu.  Justru sepertinya yang berkeberatan adalah Sapi. Mengapa? Karena yang nyetir motor dia dan ternyata udah lama gak nyetir motor. Setelah melihat motor matic yang bakal kita pakai, Sapi mulai jiper: ”Maaaallll, gw deg-degan Maaalll!” . “Deg-degan kenapa sih?!” saya mulai sewot, lah udah enak dapet pinjeman motor, ini bocah malah gugup gak jelas.  “Udah pasti lo bisa, masalahnya di antara kita berdua yang bisa nyetir motor cuma elo doang!” jawab saya sekenanya.
 Sebenarnya Sapi sudah mengingatkan saya agar berlatih mengendarai motor, tapi berhubung motor di rumah dipake abang saya, dan motor satunya lagi gak jelas nasibnya, apa masih bisa dipake atau gak, sehingga saya malas. Trip kali ini, kemampuan menyetir harus mengandalkan Sapi, mau gak mau. Akhirnya kami nekad pergi dengan menggunakan motor matic yang besar itu. Ternyata setelah Sapi naik di atasnya, telapak kaki Sapi nyaris gak menjejak tanah @_____@. OMG, saya jadi deg-degan juga. Bukannya kenapa-napa, tapi badan saya kan besar, takutnya sapi kagok ketika menyetir….
Dengan modal nekad, pada hari itu kami berpetualang dengan menaiki motor matic yang selebar gaban. Mengunjungi taman Narmada lalu berkeliling dari satu pura ke pura lain yang masih berada di daerah Mataram. Berbekal peta, kami berdua bagaikan explorer siap menaklukkan kota Mataram. Tapi toh ketika kami belum sampai tujuan alias nyasar akhirnya harus bertanya juga ke penduduk sekitar. Berhubung saya bertindak sebagai navigator jalan, yang harus melihat peta, memperhatikan rambu-rambu jalan, serta bertanya pada orang-orang yang kebetulan lewat atau tukang jualan. Saya mencoba bertanya kepada salah satu bapak yang sedang duduk di salah satu warung di pinggir jalan. “ Permisi pak, numpang tanya. Kalau mau ke taman Narmada itu ke arah mana ya?” tanya saya. “ “ Adek ke arah utara aja lalu ada belokan ke kanan, terus ke arah timur.” Jawab si bapak. Saya bengong. “Oke, terima kasih pak!” jawab saya. Entah saya harus bersyukur pertanyaan saya dijawab sangat jelas sekali atau saya harus bertanya sekali lagi agar jawabannya jelas. Akhirnya saya memutuskan untuk menghampiri Sapi, lalu duduk dibelakangnya. “Gimana Mal, kita ke arah mana neh?” tanya Sapi sambil bbm-an. “Hmmm, kita ke arah utara terus nanti ada belokan ke kanan, terus lanjut ke arah timur” jawab saya sambil nyengir. Sapi yang tadinya asyik bbm-an, tiba-tiba bengong. “Hah, itu ke manaaaaaaaa?” “Ya ke taman Narmada lah Pi, ke mana lagi coba”. “Arahnya gak jelasssss, disangka kita kompas berjalan apa!” kata Sapi. Saya ngakak. “Buahaha, emang gak jelas, udah mending kita lurus aja dulu, kata si bapak yang tadi mesti lurus dulu,itu utara, ntar kalo nemu orang lagi di jalan, kita tanya lagi aja.”
 Setelah muter-muter dan mendengarkan kata hati kalau jalan yang kami tempuh udah melenceng jauh dari tempat yang kita tuju. Melihat ada orang lagi sibuk benerin motor di bengkel, kami sepakat untuk menghampirinya. “Permisi mas, numpang nanya..” saya sambil setengah loncat dari motor, Sapi langsung mencak-mencak, karena motor jadi oleng, hehe. “Kalau mau ke taman kerajaan itu ke arah mana ya mas?” Seketika saya sadar. Kok pake sebutan mas-mas ya. Ini kan Lombok, bukan Jawa. Tapi syukurlah, sepertinya sebutan “mas” sudah beken di luar Jawa. Toh mas yang saya tanya, mengerti kalo yang saya sebut dia. “Taman Narmada? Ooohhh, taman kerajaan itu?” tanya si mas balik. “Iyaa, taman Narmada itu, letaknya di mana ya mas?” “Neng dari sini lurus, terus ada perempatan, lalu belok kanan, lurus sebentar, belok kiri, sampe deh.” jawab si mas. Saya terkekeh, ya amplop, ternyata saya dipanggil “neng” serasa orang Betawi aje. “Oke mas, makasih ya!”. Saya langsung menghampiri Sapi dan loncat di belakangnya. “Malaaaaaaa, lo pikir badan lo ringan apa!” kata Sapi sambil megang setir. Saya nyengir. “Pi, akhirnya, kita udah deket kok. Dari sini lurus, belok kanan terus lurus sebentar en belok kiri deh” kata saya dengan riang. “Oke deeeh, caboooootttt” Sapi langsung menggas motor.
Ternyata taman kerajaan yang kami cari berada di daerah dekat tempat kami muter-muter sebelumnya. Kenapa kami bisa begitu bodohnya gak ngeh dengan tempat yang dari tadi udah ada di depan mata. Saya tersadar, sepertinya itu salah saya, kekeke. Karena jawaban dari si bapak menggunakan arah kompas untuk memberitahu jalan, sedangkan saya buta arah kompas, Sapi juga. Namun, kami sampai juga di taman Narmada yang dulunya dipakai oleh anggota kerajaan Lombok untuk berendam dan bersantai.  Dengan membayar tiket masuk Rp. 5000,- per/orang. Tamannya lumayan luas, terdapat kolam berendam, berbentuk kolam renang olimpic, dan taman yang ditumbuhi pohon kamboja serta jenis pepohonan lainnya. Juga terdapat tempat pemujaan (pura) di belakang taman kerajaan tersebut. Daerah Lombok banyak terdapat anjing-anjing liar. Termasuk di taman kerajaan ini. Anjing-anjing bebas berkeliaran. Untungnya mereka jinak dan tidak menggonggong. Sehingga kami juga bebas berjalan mengelilingi taman dan tak lupa berfoto ria.

Kolam renang untuk berendam bisa, berenang bisa

                Setelah puas berkeliling taman, kami melanjutkan perjalanan untuk berkunjung ke  Pura Suranadi. Pura ini berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh banyak pepohonan rimbun, serta terdapat got yang masih dialiri air jernih dari hutan lindung dekat pura. Untuk masuk ke pura, biasanya kita dimintai sumbangan sukarela dan harus memakai sarung adat.  Bagi wanita  yang sedang haid tidak diperkenankan masuk ke dalam pura. Karena  dianggap sedang dalam keadaan tidak “bersih”. Ciri khas dari pura ini adalah banyak monyet liar dan belut yang dianggap suci oleh penduduk setempat.  Konon katanya, kalau kita berhasil melihat belut ini, maka kita akan selalu beruntung dalam kehidupan. Dan, sepertinya kami termasuk yang beruntung, karena berhasil melihat belut tersebut. Ketika saya melihat belut tersebut, saya langsung teriak : “Sapiiiiii, belutnya nongoooll, cepet ke sini!” Sapi langsung bergegas menghampiri kolam. Di pinggir kolam ada seorang bapak yang sedang asyik memberi makan belut dengan telur rebus. Oh pantas saja, belutnya nongol keluar karena dipancing dengan telur rebus. Yah, setidaknya kami berdua beruntung karena tidak perlu membeli telur rebus untuk memancing belut keluar dari lubang di dasar kolam, tapi justru bisa langsung melihat belut ketika orang lain memberinya makan. Hehehe.  Jadi gak usah keluar uang, lumayan untuk berhemat. Saat itu juga saya berdoa semoga Sapi dan saya diberi keberuntungan dan kemudahan selama trip dan selalu beruntung dalam hidup. Amin. Sambil melihat belut, kami juga dapat mencuci tangan dengan air kolam. Airnya jernih dan segar, jadi ingin meminum air kolam tersebut.  Lalu saya tanya ke bapak penjaga pura. “Pak, ini airnya bisa diminum gak ya?” tanya saya polos. “Hmm,sebaiknya jangan diminum dek, emang jernih sih, tapi lebih baik buat cuci tangan aja, atau cuci muka” jawab bapak penjaga. “Ohh gitu…” gumam saya kecewa. Yah, gak bisa minum air kolam yang dingin deh. Padahal kan lumayan bisa minum air kolam nan segar gratis..….

Ini dia, belut suci yang membawa keberuntungan :)

                Perjalanan dilanjutkan lagi. Matahari sudah mulai terik dan kami bergegas menuju pura yang lain. Pura Lingsar. Pura yang terletak di daerah persawahan. Kami sempat nyasar untuk sampai ke pura ini. Mana jalanan sedang sepi, gak ada orang lewat. Tiba-tiba ada mbak-mbak naik motor yang sedang berhenti. Akhirnya ada penduduk sekitar. Saya langsung turun dari motor dan bertanya: “Permisi mbak, kalo mau ke pura itu arahnya ke mana ya?” tanya saya dengan melas berhubung udah mulai lapar. “Oh, tinggal lurus aja, beberapa kilometer, terus belok kiri. Saya juga mau ke sana kok bareng aja.” “ Wah asiiiikk! Ya udah mbak, kita ikutin mbak dari belakang ya.” kata saya. Mereka melaju di depan kami, sehingga kami tinggal mengikuti saja. Akhirnya kami sampai di pura, tak lupa kami ucapkan terima kasih ke mbak-mbak baik hati yang mengantar kami hingga pintu depan pura.
 Letak pura ini sangat tidak bersahabat sekali dibandingkan dengan pura sebelumnya. Tidak begitu banyak pohon dan gersang. Sangat tidak disarankan berkunjung ke pura ini pada siang hari. Karena panasnya menyengat sekali. Ini bukan faktor mistis apa gimana, tapi demi perlindungan kulit. Perjalanan masuk ke dalam pura juga lumayan jauh, dari tempat parkir kendaraan. Berhubung nasi sudah jadi bubur, kami tetap berkeliling pura. Ternyata kami bertemu kembali dengan bapak dan serombongan koleganya, yang tadi memberi makan belut di pura itu.  “Loh, kamu berdua tadi yang ada di pura Suranadi kan? Wah udah sampe sini aja. Naik apa ke sininya?” tanya si bapak. “Naik motor dong kita,hehe” jawab Sapi cengengesan. “Oh gitu, lah kalian dari mana memang asalnya?” si bapak nanya lagi. “Kami dari Jakarta pak, lagi jalan-jalan aja” jawab saya. “Oh gitu, berdua aja hebat amat, naik apa ke Lombok?” si bapak ternyata gak bosen bertanya. Akhirnya kami bercerita, ke Lombok untuk jalan-jalan, dan kami naik bus 3 hari 2 malam untuk sampai Lombok.  Si bapak terkesima, karena kami, dua cewe berani untuk melakukan perjalanan jauh. Terkadang saya bertanya-tanya, emang apa iya kami berdua segitu hebatnya melakukan trip ini berdua aja,dengan modal terbatas dan buta arah??? Tapi setau saya, masih banyak backpacker lain yang lebih nekad dan lebih berani lagi dari kami. Tapi tak apalah, lumayan kan dibilang hebat sama stranger yang ketemu di jalan. Even stranger-nya bapak-bapak, bukan cowo ganteng. Hehehe.
                Sapi berniat untuk menjelajah ke dalam pura, dan saya berminat untuk beristirahat di bawah pepohonan karena capek dan haus. Sambil menunggu Sapi, saya memperhatikan sekitar. Meskipun pura dianggap tempat suci, tapi tetap saja banyak tukang jualan, entah itu yang jualan parfum nyong-nyong, minyak bulus, minuman, dan souvenir khas Lombok. Juga banyak pelancong mancanegara yang berkunjung serta memakai sarung adat. Saya melihatnya jadi geli sendiri. Hihihi.

At Lingsar, there was no sympathy from the sun, so we had to used our sunglasses



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Situbondo, Taman Nasional Baluran a.k.a Africa van Java