Madiun, Pacitan Lalu Kembali ke Jakarta
Sudah lama sekali saya gak
melanjutkan blog ini. Chapter terakhir ini mengenai perjalanan saya
pulang, kembali ke Jakarta. Namun saya menyempatkan diri untuk mampir ke
Madiun, mengunjungi teman lama sewaktu saya SMP. Saya kembali menulis untuk melakukan
nazar saya agar menyelesaikan penulisan pengalaman backpacking di
Indonesia sebelum hijrah ke Eropa. Karena niat saya ini dimulai sejak tahun
2012 lalu molor sampai beberapa tahun kemudian dan sekarang sudah tahun 2020
hahaha. (Aje gile, kemana aja lu Mal! :p) Entah kenapa saya memang proscatinator
sejati. Meski begitu, saya masih ingin menuliskan chapter terakhir backpacking
ini. Karena niat saya selanjutnya adalah menulis tentang pengalaman hidup saya hijrah ke Eropa, yaitu
Belgia. Semoga setelah ini saya jadi rajin menulis, please God, beri
saya ilham, niat, dan waktu untuk menyalurkan hobi saya yang tersendat-sendat
ini. Amin.
Delapan
tahun lalu, setelah pergi dari kota Malang….
Dari kota ini saya naik bis ke Madiun. Perjalanan memakan
waktu sekitar dua jam. Sesampainya di Madiun saya dijemput oleh Azcha, adik
temen SMP saya yang bernama Dhara. Gak menyangka bisa ketemu lagi setelah lama
banget gak ketemuan. Sewaktu saya masih SMP, Dhara adalah salah satu teman
se-geng. Penampilannya yang chubby
dan berhidung bulat serta selalu berduaan dengan sahabatnya yang tinggi dan
langsing, membuat saya selalu teringat kenangan masa-masa SMP dulu. Abisan duo
ini kontras banget penampilan fisiknya, ups :P. Kebetulan rumahnya Dhara ketika
SMP di Ragunan, dekat dengan rumah saya. Jadi saya sering bermain ke rumahnya
sebelum berangkat sekolah. Maklum jaman saya SMP, sekolahnya masih dibangun
sampai kelulusan. Jadi saya sama sekali gak mencicipi bangunan baru sekolah.
Kasian bener deh…
Orang tua Dhara pernah memiliki warung makan di pinggir jalan Wisma Tani
yang ke arah Ragunan. Saya terkadang suka nongkrong di warung ini bersama
doski. Lumayan bisa nyicip ayam
goreng gratongan, ihihi. Di warung ini juga Dhara sering curhat tentang gebetannya yang udah SMA.
HAHAHA. Maap ya Dhar, rahasia lu gw bocorin di sini :P. Namun sayangnya, karena
persaingan gak sehat dengan pemilik warung yang lain, warung makan milik teman
saya ini, harus tutup untuk selamanya. Dhara beserta keluarganya, harus pulang
kampung ke Jawa Timur. Setelah belasan
tahun gak ketemu, nasib mempertemukan kami kembali setelah saya memutuskan
untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dan cabut backpacking.
Perjalanan saya menuju Madiun, cukup sepi
karena Sapi gak ikutan pergi. Doski pergi ke Yogyakarta. Mungkin ingin
mengenang masa lalunya yang galau :P. Sesampainya di Madiun (adegan ini yang
saya lupa, apa saya sampai ke terminal Madiun lalu dijemput oleh Azcha atau
janjian entah di mana dan tetap di jemput Azcha, jadi nyesel kenapa gak
langsung nulis semua pengalaman dalam catatan harian, huhu) intinya saya
dijemput Azcha, lalu kami naik motor mampir ke kantor Dhara. Sumpah yak, dari
SMP sampai udah kerja Dhara masih semok aja tuh hahaha, dari segi penampilan
masih sebelas duabelas seperti jaman SMP. Meski begitu, doski terlihat lebih
dewasa. Abisan kerja melulu sehari-hari. Gak seperti saya, yang
sempet-sempetnya ke luar Indonesia buat jadi aupair, jalan-jalan, ngabisin duit, jalan-jalan, kerja jadi guru
gak terlalu becus (gak bakat, masa di kelas saya ketiduran…), keluar dari
kerjaan, jalan-jalan lagi, abis itu jadi aupair
*again* setelah perjalanan backpacking
ini berlalu. Pendek kata, Dhara itu pekerja keras, tau apa yang dia mau. Gak
seperti saya yang masih meraba-raba, mau jadi apa saya di bumi ini....
Madiun menurut saya memiliki daya tarik
sendiri. Kota kecil yang gak begitu padat penduduk. Gak ada macet. Sawah-sawah
membentang luas. Dan memiliki lapangan pekerjaan yang cukup luas dibandingkan
Pacitan. Bertemu kembali dengan teman SMP saya ini, seperti mengenang masa lalu
yang indah. Saya sendiri gak menyangka akan bertemu lagi setelah sekian lama.
Kami mengobrol sebentar di depan kantornya. Lalu saya diboncengi Azcha untuk
berkeliling Madiun. Melihat sawah-sawah, pabrik gula Kanigoro, dan menikmati
sore hari di kota pecel ini.
Saking gemesnya sama saya, ampe pipi di kuwel-kuwel
:p
Pabrik gula Kanigoro, Madiun
Matahari terbenam di pematang sawah
Setelah puas
berkeliling, kami pulang ke kontrakannya Dhara. Saya menginap di sana selama
dua hari, lalu berangkat ke Pacitan untuk melihat kampung halaman teman SMP
saya ini. Saya berangkat naik bus bersama Dhara, sedangkan Azcha naik motor.
Pemandangan menuju Pacitan sangat berbeda dengan jalanan yang saya lewati
selama backpacking. Tebing bebatuan,
jalan berkelok yang di bawahnya terdapat sungai mengalir jernih namun cukup
curam. Jalanannya pun cukup berbahaya di kala musim hujan, karena rawan tanah
longsor. Dari perjalanan saya selama backpacking,
naik bus ke Pacitan merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Karena
pemandangannya itu loh! Emang beda banget. Sayangnya saya lupa gak mengambil
foto....... Sungguh menyesal saya huhuhu.
Di Pacitan, saya menginap di rumah budenya
Azcha. Nah budenya ini yang mengurus Azcha selama doi sekolah sampai SMA.
Sedangkan Dhara diurus oleh bude yang lain, yang tinggalnya tidak jauh dari
tempat Azcha tinggal, sebut saja bude 1. Dhara punya adek angkat, well sebenarnya ya sepupu jauhnya, yang
bernama Yudha. Usianya sepantaran Azcha, tapi gayanya lebih tengil hahaha. Bude
1 punya anak yang bernama Sukma. Lucu deh, gemuk, imut dan lucu. Udah gitu kalo
ngomong medok hahaha, makin dah saya
gembira menginap di rumah bude 1 ini. Yang paling inget dari Sukma, doski suka
banget manggil saya mbak Mala ginak ginuk
alias gemuk, montok hahahha. Gak ngaca ya
ini anak, padahal sebelas dua belas juga body-nya
sama kaya saya :P.
Ini bocah yang ngatain
saya ginak ginuk haha
Saya sempat berkeliling naik sepeda bersama Azcha dan Yudha ke pantai Pancer
untuk menikmati sore. Dhara gak ikutan, karena gak ada sepeda yang lain dan
doski terlalu malas untuk bersepeda hahaha. Payah deh. Azcha sempat bercerita,
kalo di sepanjang pantai ini, terutama di daerah yang banyak semak-semak dan
pepohonan rindang, muda mudi senang berpacaran. Apalagi kalau sudah sore
seperti ini. Saya ketawa mendengarnya, gak di Jakarta gak di Pacitan, tetep ye,
pacaran kudu di semak-semak… Pantai Pancer terkenal dengan ombaknya yang cukup
kencang dan lokasi yang agak terpencil. Namun itu gak menghalangi para surfer untuk surfing di pantai ini.
Duo guide Pacitan, Yudha en Azcha
Mas surfer baru mau
nyemplung surfing
Para beach boys, bwahaha, plus mbak e
Mencoba gaya bebas
:p, untung gak jatuh fiuh
Setelah lelah
bersepeda, kami menyempatkan diri untuk minum es kelapa di pinggir jalan. Lumayan
bisa ngaso sebentar, sambil mengobrol
santai.
Es kelapa yang
menyegarkan
Esoknya saya nongkrong bersama Dhara di warkop gaul Pacitan.
Tempatnya hipster banget dan pada
masa itu belom ada istilah hipster pula. Tapi emang ini warkop oke berat. Cuma
yang keinget di otak saya, warkop ini pencahayaannya remang-remang hahaha. Lucu
juga, kenapa yang saya inget malah keremangan di warkop ini. Mungkin karena
saya nongkrongnya malem-malem kali ye. Jadi yang kebayang sampai sekarang malah
gelapnya doang. Mengobrol di warkop sambil ngopi, ah indah dan nikmat.
Nostalgia itu sesekali perlu. Untuk membangkitkan semangat hidup serta
mensyukuri perjalanan hidup yang gak tertebak. Oh iya, saya sempet foto-foto di
tengah jalan deket warkop ini juga bersama Dhara. Saking sepinya jalanan hahahha, bisa
selonjoran di tengah jalan.
Dhara lagi bengong di warkop hipster :p
Kopi yang saya pesan, dan saya lupa ini
kopi apa ya yang dipesan haha, ah penyesalan memang hadir belakangan, kenapa
saya gak rajin menulis harian supaya saya gak lupa apa yang udah saya lakukan
dan apa yang saya icipin di hari itu?
Inilah suasana di warkop Pacitan. Dengan
kursi-kursi tuanya. Mengobrol sambil ngemil
pisang goreng. Nikmatnya...
Keesokkan harinya, saya pergi surfing di pantai Pacitan yang ombaknya
cukup bersahabat. Dianterin Azcha naik motor di pagi hari yang cerah. Saya
cukup percaya diri dan berani untuk belajar surfing
ha ha. Karena pernah beberapa kali sebelumnya surfing di Bali dan Lombok, okelah untuk mencoba surfing di Pacitan. Meskipun masih amatir.
Diajarin oleh mas Momon, doi berbaik
hati untuk mengajari saya dengan gratis, yihiii. Dan, seru abeessss. Saya suka
karena ombaknya gak terlalu kencang. Saya juga berhasil berdiri beberapa kali
di atas surfboard. Itu yang membuat
saya bangga pake banget!
Sebelum nyebur saya pemanasan terlebih
dahulu dan diajari teknik untuk paddle sebelum
akhirnya berdiri
Hup! Belajar berdiri yang benar supaya
gak terjatuh ketika berselancar
Setelah beberapa kali mencoba akhirnya
saya berhasil berselancar sambil berdiri, yeayy!
Perasaan ketika bisa berselancar sambil
berdiri itu rasanya seperti bangga yang pake banget. Ketika saya bisa melihat
ke arah pantai yang garisnya memanjang lalu melaju di atas ombak, sungguh
perasaan yang mengasyikan. Rasa ini membuat saya ketagihan untuk selalu
menyempatkan surfing ketika
mengunjungi pantai selama saya backpacking.
Dan saya sekali lagi menekankan bahwa
saya gak jago surfing, saya hanya
suka surfing dan masih belajar.
Teringat akan kenangan saya surfing
di Seminyak, coach-nya bilang ketika
sambil nunggu ombak : “Coba sesekali sambil liat ke langit, bagus ya. Luas
banget. Alam itu harus dinikmati, gak usah tegang atau takut kena ombak.” Memang alam itu indah banget, laut, langit
semua indah. Dari situ saya berniat untuk selalu surfing kalau ada kesempatan. Seperti surfing di pantai Pacitan ini, untuk penutup perjalanan saya selama
backpacking, huhu.
Komentar
Posting Komentar