Bule Jawani yang Bernama René

Selesai surfing saya masih ada agenda lain, yaitu bertemu teman lama yang bernama Fitri. Kebetulan saya belum pernah sama sekali bertemu dengannya, meskipun saya tahu dia dulu sempat tinggal di Belgia. Lalu berkawan dengan teman saya yang lain yang tinggal di Belgia. Jadilah pertemuan kami di Bali sebagai pertemuan pada padangan pertama alias pertama kali bertatap muka. Sambil sms-an dengan Fitri, karena saya masih belum liat penampakannya, di pikiran saya terlintas si Sapi. Tuh anak ke mana aja ya. Jangan bilang dia ketemu bule beneran, dan nekat pengen bawa itu bule ke klub. Soalnya kalo bawa bule entah ketemu di jalan atau munggut di pinggir pantai, yang penting bule! Gratis masuk klub. Masih gak habis pikir, hubungan bule dan masuk klub gratis apaan coba. Kadang kalo menyangkut hal beginian, paradigma orang Indonesia yang menganggap atau berharap semua orang bule kaya raya, tajir melintir, dan royal untuk menghabiskan duit di klub atau bar, kebanyakan salah besar! Karena orang bule juga banyak yang miskin. Mungkin gak miskin tapi lebih ke sederhana dan perhitungan. Mereka bisa bepergian ke luar negeri, vakansi ke mana-mana, itu karena hasil kerja keras mereka. Kerja, dapet duit, irit, nabung, tabungan dipilah mana yang untuk bayar pajak, keperluan rumah tangga, vakansi, uang sekolah anak, dll. Lalu pada saat liburan mereka dengan relax bisa pergi vakansi. Faktor kenapa kita melihat bule “wah” adalah karena mereka kalo bersenang-senang benar-benar pol! Sesuai slogan: work hard, play hard. Tapi sayangnya kita jarang melihat “kerja kerasnya”. Jadi yaah, gak menyalahkan mereka-mereka yang menganggap bule-bule tajir melintir, lebih “wah”, dan lebih pintar dan sebagainya daripada orang pribumi. Intinya gak semua bule tajir, royal, pintar, dan romantis. Seperti yang bisa dilihat di film-film Hollywood. Hehehe. 

Akhirnya dari jarak kira-kira 20 meter dari tempat saya berjalan, saya melihat ada sesosok cewe memakai sweater tebal, kebetulan angin sore itu juga dingin menggigit, melambai ke arah saya. Ah itu pasti Fitri, pikir saya. Dan ternyata benar. Kami langsung cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri) lalu mengobrol tentang keadaan masing-masing. Fitri mengusulkan untuk nongkrong di kafe tempat dia biasa kongkow bersama teman-temannya. Karena gak jauh dari tempat kami bertemu. Tiba di kafe, kami memilih untuk duduk di luar, mengarah ke pantai, dan duduk di atas sofa yang seperti bantal sebesar gaban. Comfy banget. Kecuali anginnya, hahaha. Tapi gak papa, hanya sekali-sekali ini. Fitri memesan minuman dan saya sms Sapi agar lekas datang ke kafe. Lalu kami melanjutkan percakapan mengenai pekerjaan. Fitri kerja di perusahaan penyewaan diving, kalo saya gak salah tangkap, dia menduduki posisi sebagai sales atau yang bertanggung jawab atas promosi perusahaan tersebut. Maap ya Fit, kalo saya salah, haha, maklum agak bolot. Dia juga menceritakan tentang penghasilan rata-rata di Bali. Meskipun Bali termaksud makmur dalam segi pariwisata, sepertinya dalam segi kemakmuran pekerja yang bekerja pada bidang tersebut kurang bagus. “Iya Mal, gw kayanya bakal pindah kerjaan lain deh. Kalo masih gini-gini aja. Abisan pas-pasan banget buat hidup” ujar Fitri sambil menyeruput minumannya. “ “Ya udah Fit, semoga lo dapet kerjaan yang bagus dan gajinya gede, biar bisa nabung, amin-amin” jawab saya sambil sungguh-sungguh berdoa. Semua orang pasti tahu, untuk mendapatkan pekerjaan tidak segampang membalikan tangan. Butuh motivasi, keberuntungan, network, dan doa. Jadi saya benar-benar berharap supaya teman saya ini, dapet kerjaan yang oke J


Senja di Kuta Bali

Gak lama kemudian Sapi menghampiri kami. Dan gak nyangka, dugaan saya benar 100%. Doski bawa bule, hahaha. Pengen ketawa sendiri jadinya. Sinting juga nih bocah, nekat. Pas dilihat dari dekat kok bulenya cupu sih??? Rambut gondrong desa, dikuncir kuda, pake celana pendek, kaos, sendal gunung *mungkin merknya Neckerman* dan membawa tas slempang berwarna putih, mirip tas karung. Bisa dibilang bule sederhana, kalo dilihat dari gaya dan style-nya doi. Sambil tersenyum kaku, saya memandang Sapi dengan penuh pertanyaan. Beneran jadi ke klub  nih? Bawa ini bule yang jelas-jelas bukan tipe yang suka nongkrong di bar, minum-minum, dan berdansa ria?? Aneh deh si Sapi… Sang bule cupu mengulurkan tangannya ke saya: “Renѐ” katanya sambil nyengir. Saya jadi ikutan nyengir juga. Bukannya apa-apa, justru karena melihat gayanya yang cupu akut. Dan pertanyaan yang hinggap di kepala saya, kok bisa si Sapi barengan dengan ini bule. Ketemu di mana and kok mau aja ngikut Sapi, huahaha. Renѐ pun berkenalan dengan Fitri. Sambil mengobrol ternyata Sapi bertemu Renѐ ketika saya sedang belajar surfing. Sapi yang menyapa Renѐ duluan dan mengajak ngobrol karena melihat doi duduk sendirian di atas pasir pantai Kuta. Karena Renѐ gak ada acara lain, doi akhirnya ikut Sapi untuk bertemu Fitri dan saya. Daripada nongkrong sendirian di pinggir pantai pas maghrib, mendingan join cewe-cewe ngobrol. Hihihi.
“And Renѐ, what do you think about Bali? Have you been to another Asian country?” tanya saya pada Renѐ. “Well, Bali is quite full with people I guess. And the seller here like to freak me out, you know…” Sapi dan saya saling bertatapan, maksudnya? Rene lalu menjelaskan lagi : “They like to approach people to offer things even when people already said ‘NO’. It is really scary me. It gives me strange feelings.” Dalam hati saya berkata : emang begitu, kalo di Indonesia mah! Lalu Renѐ melanjutkan ceritanya kembali, dia pernah ke Thailand, dan beberapa negara lainnya. Saking banyaknya saya sampai lupa. Tapi yang paling aneh dari Renѐ adalah doi bercerita seakan-akan doi takut kalau pergi ke mana-mana dan bertemu dengan orang asing. Terlebih lagi, demi kehigienisan dan keamanan ketika bepergian ke luar negeri doi selalu membawa selimut cadangan untuk dijadikan alas tidur di atas kasur di hotel, hostel atau losmen tempat doi menginap. “I can’t imagine what happened on that bed before I arrived there, so for my sake, I rather sleep on a blanket that I have on that bed!” Cerocos Renѐ. Sungguh pemikiran yang cemerlang sekaligus paranoid! Hahaha. Dan juga lucu. Kok bisa-bisanya doi bepergian sendirian ke luar negeri kalau takut bertemu orang-orang asing dan agak paranoid seperti itu. Namun, pertanyaan saya ini saya simpan saja sendiri. Nanti ketika di losmen saya akan bertanya pada Sapi perihal Renѐ. Perbincangan pun berlanjut seru. ..

Coretan yang dibuat Sapi ketika bengong di pantai

Tiba-tiba Sapi dapat sms dari mas Rony. Menanyakan keberadaan kami. “Suruh aja mas Rony ke sini Pi, gabung aja sama kita. Bilangin patokannya bantal sofa warna warni segede gaban dan layar tancep, hehe,” sahut saya ke Sapi. “Oke, udah gw sms balik, tauk deh doi bisa nemu ini kafe apa gak, hihi,” jawab Sapi. Mas Rony akhirnya nongol juga dan sepertinya agak kaget ketika melihat Renѐ. Dan yang pasti mas Rony gak ikutan ngobrol cuma dengerin sambil nyengir-nyengir doang. Renѐ bercerita kalau sekarang doi tinggal di Inggris dan bekerja jadi operator di salah satu perusahaan swasta di sana. Dan yang paling gak saya sangka adalah ternyata doi orang Belanda! Kok gelagatnya gak kaya orang Belanda pada umumnya ya, hehe. Gak keliatan aja kalo doi orang Belanda. Doi juga cerita kalau dia jarang pulang kampung. Bahasa Belanda juga sudah jarang dipakai semenjak tinggal di Inggris. Doi bekerja untuk jalan-jalan keliling dunia. Ada kemungkinan kontrak jadi operator di Inggris akan berakhir jadi doi harus cari kerjaan lain. Seru abis deh, tapi masih gak percaya aja orang penakut kaya gitu bisa keliling dunia sendirian, hueheh. Waktu semakin malam dan akhirnya kami memutuskan untuk makan nasi goreng. Karena kami memang belom makan, dan Fitri tahu di mana tempat jualan nasi goreng yang enak dan murah. Renѐ kami ajak. “Renѐ would you like to join us to eat nasi goreng?” tanya Sapi. “Well I already ate though, it’s okay. Thanks,” jawab Renѐ.  “But maybe I could join you all without eating nasi goreng?” tanya Renѐ. “Of course, no problem at all,” jawab Sapi. Kami pergi naik motor, berhubung tempat jualan nasi gorengnya agak jauh. Sapi dan saya bareng mas Rony, meski sempit dan saya nyaris merosot karena gak muat, tapi tetap kekeuh satu motor bertiga, haha. Sedangkan Renѐ dibonceng Fitri.
Sesampainya di tempat penjual nasi goreng, kami langsung mencari tempat duduk dan memesan makanan.  “Mal, Sapi, lo nasi gorengnya pedes apa gak?” tanya Fitri. “Gak, yang sedeng aja”, jawab kami serempak. “Gw yang pedes ya Fit”, sahut mas Rony. Tiba-tiba Renѐ ingin nasi goreng juga: “Hmm, I would like to eat too,” sahut Renѐ ragu-ragu. “Oke, what kind of nasi goreng would you like to eat? Spicy or not?” tanya Fitri.  “Not spicy please, I can’t eat it if it’s too spicy for me,” jawab Renѐ pendek. Nasi goreng pesanan Sapi dan saya akhirnya matang, dan kami duduk sambil ngobrol. “Eh bule lu aneh banget dah. Tadi dia bilang gak mau ikutan makan, tapi sekarang malah pengen makan nasi goreng. Bule Jawa abis, ngikut apa yang kita lakuin, hehehe,” kata saya pada Sapi. “Iya, sumpaah aneh abis itu bule, Jawa abis. Nurut aja gitu,hahaha kasian gw jadinya. Gw ajak ketemu lu-lu pada aja dia mau,” sahut Sapi sambil makan. Nasi goreng pesanan Renѐ, mas Rony, dan Fitri baru saja kelar. Ketika Renѐ menyicipi makanan tersebut, doi berkata :”Hmm lekker, really nice though.” Kami berempat mengangguk menyetujui dan menikmati santap malam kami.  Selesai makan, kami semua merasa kekenyangan. Saya sambil melihat ke piring Renѐ, ternyata nasi gorengnya tak bersisa. Laper apa doyan? Tadi bilang udah makan, kalau udah makan mah kayanya nasi goreng sebanyak itu gak bakalan habis deh. Lah ini? Haha, habis gak bersisa, Renѐ Renѐ.

Kami membayar  pesanan masing-masing, lalu beranjak pulang. Renѐ pun ikut kami menuju arah jalan Popies, tempat losmen kami tinggal. Yang menjadi penunjuk jalan adalah Fitri, berhubung doski udah tinggal lama di Bali, jadi kami hanya mengikuti saja dari belakang motornya. Tiba di losmen, kami berpamitan dengan Fitri, dan Renѐ. Tiba-tiba Renѐ bilang : “Oke, I will walk from here, because my losmen it’s over there. Which is we already passed it.” Fitri, Sapi, dan saya bengong. Kenapa gak bilang, kalau kita tadi ngelewatin losmennya. Ya ampun, beneran bule Jawa, ngikut terus ke mana-mana dan gak berani bilang kalau mesti berhenti di depan losmennya. Bule yang paling Jawani yang pernah saya temui. Karena biasanya bule berani ngomong apa yang dia mau, dan menolak yang gak sesuai dengan keinginan dia. Lah ini? Sama sekali gak! Sungguh aneh…  Setelah berpamitan dengan mereka, kami masuk ke losmen, mas Rony pun berpamitan. “Sampai bertemu besok ya! Jangan lupa pamitan dulu lu, kalo mau balik, hehehe,” kata mas Rony kalem. Kami: “oke deh, asal di kasih pesangon yak, secara kita belom ada kerjaan, butuh suntikan dana,” sahut kami asal. Mas Rony nyengir seperti biasa. Kami berdua langsung menuju kamar dan melemparkan diri ke kasur. Hari yang melelahkan dan seru, karena dapat bertemu sesosok bule Jawani seperti Renѐ.  Kami menyetel alarm, karena besok harus pergi meninggalkan Bali. Kami lalu terlelap…. Bermimpi untuk memulai perjalanan kami berikutnya.

Pulau di atas awan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Situbondo, Taman Nasional Baluran a.k.a Africa van Java