Perjalanan Mencekam dari Kuta Lombok menuju Cakranegara…


              Setelah main air dan surfing beberapa jam, kami akhirnya memutuskan untuk segera pulang.  Kami melewati lapangan yang penuh dengan warga sekitar dan sedikit bule. “Eh Pi, apaan tuh rame-rame di lapangan?” tanya saya bingung. “Rame banget. Apa ini yang dibilang si pelatih surfing tadi, ada acara adat gitu?” tambah saya. “Mana gw tau Mal, gw lagi nyetir ini, ya udah kita ke sana aja gimana? Lagian di sebelah lapangan ada pantai juga, kita ngaso en makan aja disitu. Lafaar ini gw” sahut Sapi. Kami segera mencari parkiran. Kebetulan juga ada beberapa mobil yang parkir di sana, jadi kami merasa aman.  Entah kenapa dalam trip ini, kata tanya “aman gak” sering keluar dari mulut saya. Berhubung saya baru pertama kali ke Lombok dan berdua doang, institusi saya yang tadinya nol alias apa yang diliat pasti aman-aman saja, jadi meningkat, mungkin standarnya jadi 8 kalo paling tinggi persentase nilainya 10. Dari gosip, desas-desus, mengenai Kuta Lombok saja udah membuat saya waspada. Kami berdua, berjenis kelamin perempuan naik mobil xenia sewaan, keliling seperempat Lombok, gak ada yang bisa diandalkan selain diri kami sendiri. Jadi  ya harus lebih waspada.
                Keluar dari mobil, saya melihat sekeliling untuk mencari tempat ngaso yang asik lalu menunjuk, “Itu ada pohon kelapa en bangku di sana Pi! Kita ke sana aja gimana? Kayanya ada yang jualan air kelapa juga, haus nih.”  “Oke kita ke sana” sahut Sapi yang mengenakan terusan panjang  berkibar-kibar di tiup angin pantai. Kami duduk di bawah pohon rindang dan di samping bapak yang jualan air kelapa, hehe. Sambil memakan bekal kami berbincang-bincang: “Eh pi, itu apaan ya rame-rame? Kaya turnamen gitu tapi gak jelas,” kata saya. “Iya emang turnamen deh kayanya, tapi orang-orang kampung sini,” jawab Sapi sambil ngunyah. “Ya iyalah, kampung mana lagi coba Pi,” sahut saya setengah jengkel. Yang jelas saya kurang begitu tertarik untuk melihat acara adat yang sedang berlangsung di lapangan pinggir pantai tersebut. Sering saya perhatikan, orang-orang daerah sini agak sedikit resek, mungkin sama reseknya kaya alay-alay di Jakarta kali ya, haha! Suka siul-siul gak jelas, sambil teriak: “Eh cewe, perempuan, manis-manis amat sih.” Saya melengos dengan tampang dongkol. Pada dasarnya kami berdua juga sadar kalo kami cewe-cewe manis, tapi kalo yang godain alay-alay Lombok ya males juga jek! 

Pemandangan dari bawah pohon tempat kami ngaso

Kelapa yang baru dibelah, tapi bukan belah duren lah yaw :D


                  Puas mengisi perut dengan bekal makan siang plus air kelapa segar, kami segera berfoto ria. Tetap dalam agenda kami berfoto ria merupakan hal wajib yang kudu dilakukan, mau tampang udah item keling kami tak peduli. Pinggir pantai yang kami singgahi ini ternyata bernama Tanjung Aan (info ini kami  dapat ketika beli kelapa muda, sambil bertanya ke bapak yang jualan). Pasir putih yang lembut disertai air laut yang biru jernih memanjakan mata kami untuk menikmati pemandangan indah ini. Di ujung sebelah kanan tempat kami makan ternyata ada batu atau sebut saja bukit yang bisa didaki. Dan memang terlihat gerombolan anak-anak muda yang mendaki bukit tersebut. Lelah berfoto ria di atas pasir kami segera menyambangi bukit kecil yang berada di pinggir pantai tersebut. Kami tidak menyangka naik bukit pun dimintai iuran “liar” Rp. 1000,-. “Pi, kita dipungut biaya neh, bayar gak?” tanya saya sambil naik ke atas bukit. “Yang jaga gak ada kan? Udah gak usah dulu, ntar aja kalo yg jaga datang baru kita bayar. Lagian apa-apaan deh. Orang-orang pada ngambil keuntungan sendiri gini,” jawab Sapi sambil motoin saya. Iya benar, memang sih iuran yang diminta gak seberapa, tapi kalo setiap orang yang naik bukit ini bayar iuran, itu bisa jadi beberapa atau ratusan ribu rupiah. Kotak iurannya pun gak jelas siapa pemiliknya, dari pihak mana, membuat orang-orang yang berwisata jadi tidak nyaman.

Gundukan tanah atau bukit kecil yang dipungut iuran "liar" kalo kita naik ke atasnya

Kami tiba di atas bukit dengan ngos-ngosan. Tapi terbayar sudah, karena pemandangan dari bukit sangat eksotis. Matahari sore bercahaya agak redup dengan laut di bawah bukit. Kami bisa melihat pemandangan pantai lebih menyeluruh. Di depan bukit tempat kami berdiri terdapat pinggiran laut yang membentuk huruf “U”, disertai pasir putih berkilau disertai pepohonan kelapa. Saat itu juga saya hati benar-benar damai. Pemandangan indah seperti ini gak bakal ada di Ancol, Jakarta. Jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Melihat ada gerombolan anak-anak muda, saya segera menghampiri mereka. “Bisa minta tolong gak? Tolong fotoin kami berdua dong,” cerosos saya. Anak-anak muda tersebut malah saling ngasih perintah satu sama lain. “Eh kamu aja yang motoin, saya gak bisa make kamera,” kata si mas yang saya samperin ke temannya. Lalu temannya menyahut, “Udah kamu aja, kamu kan perempuan pasti bisa make kamera (sambil nunjuk ke teman perempuannya)”.  Kami berdua cengengesan. Gak ngerti apa hubungannya perempuan dengan keahlian memakai kamera. Ada-ada saja si mas ini. Akhirnya kami difoto oleh mbak cantik yang jarinya lentik dan memiliki kuku unik berhiaskan bintang-bintang. Mungkin si mbak ini abis manicure pedicure, pikir saya. Setelah mengucapkan terima kasih, saya langsung bilang ke si mbak, “Kukunya bagus banget, dihias sendiri apa gimana mbak?" tanya saya penasaran. “Oh ini, sama teman-teman saya di tempat kerjaan kok,” jawab si mbak sambil malu-malu. “Lah emang kerjanya di mana?” tanya saya gak tau diri. “Itu di hotel deket Kuta, saya kerja di spanya.” Sahut si mbak. Oh ternyata mbaknya ini kerja di spa, pantesan aja kukunya bagus. Hehehe. Memang kebanyakan penduduk di sekitar Kuta Lombok bekerja di sektor pariwisata, seperti hotel, café, dan bar. Setidaknya ini bagus untuk membuka lapangan kerja penduduk setempat dan dapat meningkatkan kesejahteraan. Jadi teringat tempat kami menyewa papan surfing. Mas pemilik sewa papan yang berbicara bahasa Lombok Inggris, sepertinya wirausahawan. Karena toh dia menjual produk sunblock dan juga menyewakan papan surfing. Dan di rumah itu dia juga memiliki fasilitas komputer dan internet. Mungkin untuk keperluan bisnis. Rumah yang terbilang kecil, penuh dengan papan surfing, baju ketat untuk surfing, dan kaca-kaca yang ditempeli dengan stiker billabong dan rip curl. Saya sempat penasaran, siapa yang memodali si mas logat aneh ini. Pasti ada orang yang memberi modal dan diajak bekerja sama. Bahkan istri si mas logat aneh, disuruh berhenti kerja agar bisa fokus mengurus rumah tangga saja. Padahal sudah kerja di hotel. Paling tidak penghasilannya lumayan. Terkadang saya salut dengan orang-orang yang berwirausaha seperti itu. Mandiri. Tidak tergantung dengan orang lain. Lebih bergantung pada skill-nya sendiri. Salut.
                     
Bekal makan siang menjelang sore milik kami

Sang ibu mungkin sedang galau, duduk di atas bukit sendirian...


“Malaaaaa!” teriak Sapi. Mengejutkan saya yang sedang melamun. “Fotoin gw dong dari belakang. Mataharinya bagus tuh. Udah mau terbenam”, cerocos Sapi. Astaga. Ternyata udah hampir maghrib. Harus segera pulang  takut kemaleman. “Oke, tapi abis itu gantian lo potoin gw dari belakang yak. Terus kita langsung cabut dari sini Pi. Udah mau maghrib, jalanan pasti gelap, dan mata lo kan agak rabun kalo udah malem,” sahut saya cuek. Setelah Sapi puas difoto, kami segera turun ke bawah. Tak lupa membayar iuran. Karena entah muncul dari mana, ada anak kecil yang melihat kami turun dari bukit. Lalu dia menagih iuran “liar” tersebut. Kami segera masuk ke mobil dan langsung pergi dari Tanjung Aan.  “Yah sayang banget kita cuma sebentar doang Pi. Pingin deh kapan-kapan ke sini lagi,” kata saya sambil melihat pemandangan Tanjung Aan yang semakin jauh. “Iya, ntar kapan-kapan ke sini lagi. Sekarang gimana nasib kita. Lo pokoknya mesti perhatiin rambu-rambu yang ada di jalanan. Jangan molor! Udah malem mata gw gak ngeliat jelas neeehh,” sahut Sapi sambil ngebut. “Oke, beres supir AKAP, hahaha”.  Kami menelusuri jalan balik dari Kuta menuju Cakranegara. Bahkan jalan pulang pun kami masih nyasar. Memang sistem navigasi yang kami miliki parah, apalagi saya jadi navigatornya. Berhubung ada dua cabang jalan, saya gak bisa ambil keputusan mana yang ke Cakranegara. Melihat ada seorang bapak memakai pakaian muslim yang sepertinya mau ke mesjid, saya memberanikan diri untuk bertanya. “Pak kalo ke Cakranegara belok kiri apa lurus terus ya pak?” tanya saya dari jendela mobil. Karena gak berani turun keluar. Kuta seram kalo sudah malam mana sepi pula. “Oh belok aja, itu sebelah kiri ada kantor pos, terus abis itu lurus terus ya” sahut si bapak ramah. Untung ada si bapak ini. Kalo gak, sepertinya saya udah mau bilang ke Sapi ambil jalan lurus saja bukan ke kiri.

Rock star wannabe

Penyanyi dangdud wannabe :P


Jalanan sudah mulai gelap gulita. Yang dimaksud gelap gulita di sini adalah benar-benar gelap. Gak ada lampu penerangan jalan sama sekali. Justru lampu mobil kami  yang jadi satu-satunya lampu penerangan jalan. Tiba-tiba Sapi teriak, “Maaalll, ada rambu ijo tuh, petunjuknya apa?” “Hah, rambu ijo, gw gak liat ada tulisannya Pi,” sahut saya cuek. Sepertinya saya sudah mulai gak konsen, ditambah badan pegal-pegal sehabis surfing. Sapi langsung mencak-mencak, “Maalll gak mungkin gak ada tulisannya dodoollll, pasti adaaa itu kan rambu penunjuk jalan. Haduh kita nyasar nih.” Feeling saya juga mengatakan begitu. Kami in the middle of nowhere. Kiri kanan sawah yang gelap. Gak ada kendaraan umum yang lewat. Gak ada lampu penerangan. Hanya ada bulan purnama. Setidaknya gak ada lolongan anjing. Kalo pun ada, mungkin kami gak denger. Kekeke. Karena jendela mobil tertutup dan kami di dalam mobil saling menyalahkan satu sama lain. Tapi tiba-tiba ada pengendara motor dari arah berlawanan melaju kencang. “Sapi itu liat kayanya ada motor dari depan deh. Buka jendela, teriak Pi!” sahut saya antusias. Itu satu-satunya motor yang lewat. Akhirnya sambil buka jendela Sapi teriak, “Massss tungguuuu!”. Kami segera berhenti untuk melihat apakah sang pengendara motor berhenti juga atau tidak. Ternyata meskipun jaraknya sudah cukup jauh dari mobil kami, si pengendara motor balik arah. Menuju mobil kami. Yes! Akhirnya ada orang yang bisa ditanya. “Maaf mas, numpang tanya ke Cakranegara arahnya ke mana ya?” tanya Sapi gak enak. Sungguh pengendara motor yang baik, masih mau menghampiri kami, gumam saya dalam hati. “Wah, adek salah arah. Mesti balik lagi. Muter dulu. Terus nanti ada belokan ke arah kiri. Belok situ terus lurus aja. Nanti pasti ngeliat rambu lain yang mengarah ke Cakranegara,” jawab si pengendara motor ramah. “Oh gitu, makasih banyak ya Mas”, balas Sapi. Saya juga akhirnya mengucapkan terima kasih banyak. Sungguh si masnya baik banget, mau balik arah untuk ditanyai oleh kami. “Sumpah ya Pi, untung ada itu pengandara motor, kalo gak, gak tau deh nasib kita gimana. Mana gelap. Gak ada siapa-siapa. Bensin udah mau abis pula. Hadoh,” komentar saya sambil megang jidat. “Mal jangan seneng dulu. Emang sih kita udah lewat itu daerah gelap yang laknat. Dan kita udah ada di deket kota ke tempat om lo. Masalahnya adalah gw lupa rumah om lo sebelah mana, bhuahahahha” sahut Sapi sambil nyengir. Masyaallah. Udah mau sampai rumah, cobaan masih ada aja. “Sumpaaah Piii, apalagi gw,hahaha. Gw juga lupa patokannya apa. Tapi kayanya setelah pura yang deket pom bensin itu deh Pi. Terus kita lewat turunan jalan gede. En belok kanan. Ya gak?” tanya saya meyakinkan. “Ya udah kita coba aja, lagian kayanya udah deket nih gang rumah om lo. Sumpah kenapa Lombok kalo malem gelap banget sih!” gerutu Sapi. Ternyata setelah muter-muter, kami nyasar. Bingung jalan ke komplek rumah om Nanu, ke arah mana. Setelah nanya orang, dan berdoa yang kenceng. Kami melihat ciri khas komplek rumah om saya. Hura! Kami sampai di rumah pukul 8 malam. Istirahat sebentar, mandi lalu makan malam. Ketika kami sedang leyeh-leyeh di kamar,anak perempuan om Nanu, Vivi menghampiri kami di kamar, “Kak, kalo gak capek bapak mau ngajakin makan sate bulayak.”  “Oh, okee kita ikut aja Vi” sahut saya sambil mencatat pengeluaran hari itu. Setelah Vivi keluar kamar, saya langsung menyerocos. “Pi, kita makan sate apaan? Buaya? Buset emang ada?” tanya saya antusias. “Mal, gak mungkin juga kita makan sate BUAYA, bolot banget dah lo,” jawab Sapi sambil bbm-an.  “Lah terus sate apaan dong cong?” tanya saya ketus. “Gw juga gak tau sate apaan Mal, gak denger gw, ahaha!” jawab Sapi ngakak. Sial, dia sendiri gak denger. Selesai leyeh-leyeh kami dipanggil untuk ikut makan sate di warung pinggir jalan. Ternyata nama satenya BULAYAK bukan BUAYA. Hahaha. Kami bareng om Nanu, tante Eti, beserta kedua anaknya, makan di bawah sinar bulan purnama sambil bercengkrama. Makasih ya om dan tante, yang mengijinkan kami numpang menginap beberapa hari untuk trip ke Lombok ini, ujar saya dalam hati.

Bye-bye Tanjung Aan sampai berjumpa lagi

Bye-bye Kuta Lombok, kita pasti bersua lagi








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Situbondo, Taman Nasional Baluran a.k.a Africa van Java